Wednesday, February 26, 2020

Profile of Prof. Eko Budihardjo

Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc was born in Purbalingga and obtained his undergraduate degree in Architecture from the Faculty of Engineering, Gajah Mada University, Jogjakarta (1969). His Master of Science in Town Planning was obtained from the University of Wales Institute of Science and Technology, UK, in 1978. He has held various positions, namely as the Rector of Diponegoro University (1998-2006); Head of Research Bureau Faculty of Engineering, Diponegoro University (1978-1989); Head of Architecture Department Faculty of Engineering, Diponegoro University (1987-1989); Vice Dean I Faculty of Engineering Diponegoro University (1989-1992); and Dean of Faculty of Engineering Diponegoro University (1992-1998).

In the professional organizations he held positions as the President of Indonesian Architects Association (IAI) Central Java branch (1987-1992) and Head of Planning Expert Association (IAP) Central Java branch (1992 - present). He is also the member of Habitat International Council (HIC) Mexico; Eastern Regional Organization on Planning and Housing (EAROPH) Malaysia and the International Federation for Housing and Planning (IFHP) the Netherlands. He often presents his papers in various scientific meetings abroad. In 1993 he travelled to the United States to study about the Conservation of Old Buildings and Cultural Heritage and in 1994 he went to Australia to conduct comparative studies in urban management.

During his spare time, he is often active as Director of Regional Development Studies Foundation, Advisor of Bakti Karya Foundation, Member of Expert at the Indonesian Moslem Scientist Association (ICMI) Central Java, Member of Council of the Indonesian Engineer Association (PII) Central Java, President of Rotary Club Semarang, and Chairman of Art Council Central Java. He received numerous awards, such as the prestigious 'Bhakti Upapradana'from the Governor of Central Java, Lecturer with Achievements from the Rector of Diponegoro University, CUltural Gold Star from the Centre of Javanese Culture Foundation, and Honorable Award from the Indonesian Architect Association (IAI).

* * *
Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc, lahir di Purbalingga dan memperoleh gelar insinyur Arsitek dari Fakultas Teknik Universitas Gajah MadaYogyakarta (1969). Gelar Master of Science in Town Planning diraihnya dari University of Wales Institute of Science and Technology, Inggris pada tahun 1978. Jabatan-jabatan yang pernah diembannya antara lain sebagai Kepala Biro Penelitian FT Undip (1978-1989). Ketua Jurusan Arsitektur FT Undip (1987-1989), Pembantu Dekan I FT Undip (1989-1992), Dekan Fakultas Teknik Undip (1992-1998), dan Rektor Undip (1998-2006).

Dalam organisasi profesi menjabat Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Jawa Tengah (1987-1992) dan Ketua Ikatan hli Perencanaan (IAP) Cabang Jawa Tengah (1992-sekarang). Sebagai anggota dewan Habitat International Council (HIC) Mexico; Eastern Regional Organization on Planning and Housing (EAROPH) Malaysia dan International Federation for Housing and Planning (IFHP) Belanda. Sering sekali menyajikan makalah dalam berbagai pertemuan ilmiah di mancanegara. Tahun 1993 berkeliling Amerika Serikat mempelajari Konservasi Bangunan Kuno dan Lingkungan Bersejarah dan tahun 1994 ke Australia melakukan studi banding tentang urban management.

Di sela-sela kesibukannya, masih sempat bertindak sebagai Direktur Lembaga Studi Pembangunan Daerah (LSPD), Penasihat Ahli Yayasan Bakti Karya (Yabaka), Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah, Anggota Dewan Pembina Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Tengah, Presiden Rotary Club Semarang, dan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah. Berbagai penghargaan telah diterimanya, antara lain Bhakti Upapradana dari Gubernur Jawa Tengah, Dosen Teladan dari Rektor Undip, Bintang Emas Budaya dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi, dan penghargaan dengan pujian dari Ikatan Arsitek Indonesia.

Tuesday, March 16, 2010

Seks dan Arsitektur

Tatkala organisasi profesi arsitek di Inggris pertama kali didirikan dengan nama Institute of British Architects pada tahun 1834, disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah “To uphold ourselves the character of Architects as men of taste, men of science, and men of honour.” (Conway & Roenisch, “Understanding Architecture,”, 2005).

Kenapa arsitek disebut sebagai laki-laki yang punya selera, laki-laki yang berilmu, dan laki-laki yang bermartabat?

Tak bisa diingkari bahwa dalam abad ke-19 boleh dikata semua profesional berjenis kelamin laki-laki. Bahwa terkisah di Swiss jaman dulu, hanya laki-laki yang memilki hak suara dan ikut dalam pemilu. Sebelum memilih, para lelaki itu mesti meletakkan pedang masing-masing di atas meja Komisi Pemilihan Umum.

Bahkan di negara semaju Amerika Serikat pun, konon wife itu diartikan sebagai akronim dari washing, ironing, fun, entertaining. Mirip dengan isteri menurut faham masyarakat Jawa yang sering disebut sebagai ’Kanca wingking’ alias teman di belakang. Tugas isteri orang Jawa adalah masak, asah-asah (cuci piring), umbah-umbah (cuci pakaian), dan lumah-lumah (bercengkerama).

Baru pada abad ke-20 muncullah gerakan menuntut kesetaraan gender, feminisme, menangkal patriarkalisme. Tidak terkecuali dalam disiplin ilmu dan profesi arsitektur. Muncul kecaman bahwa penataan ruang, kota, wilayah, dan arsitektur terlalu didominasi pemikiran laki-laki, kurang memperhatikan aspirasi wanita (dan anak-anak) yang cenderung dimarjinalkan.

Prof. Agnes Widanti mengutip pendapat Francis Bacon yang menggambarkan hubungan ilmuwan dan profesional dengan alam dan lingkungan seperti halnya hubungan lelaki dan perempuan dalam perkawinan yang bersifat patriarkhal (baca buku Darmawan & Purwanto, “Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi”, 2009).

Jadi Bacon mengungkapkan dua macam dominasi sekaligus yaitu dominasi ilmu terhadap alam dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Gerakan “Eco-Feminism’ menilai bahwa kekerasan terhadap perempuan dan perusakan terhadap lingkungan merupakan dua gejala yang saling berhubungan satu sama lain.

Dengan kata lain, kerusakan dan kehancuran lingkungan selama ini bukan hanya akibat pandangan anthroposentris semata-mata, melainkan juga karena paham dan praktik androsentris. Berarti bahwa keadilan ekologis tidak berlangsung dengan baik karena adanya ketidakadilan gender.

Gerakan feminis dalam berbagai bidang berusaha memperjuangkan perubahan struktur-struktur yang tidak adil dan sistem simbol yang timpang, agar tercipta struktur-struktur baru yang seimbang, mengakomodasi saling hubungan timbal balik yang setara, peduli terhadap kelompok marjinal, dan memelihara harmoni denganbumi.

Bila direnungkan lebih dalam, gerakan feminis tersebut mirip dengan kebangkitan kembali aliran Sufi yang menekankan pada 3 aspek: cinta, keselarasan (harmony), dan keindahan (“Gentler Islam”, Majalah Time edisi 17 Agustus 2009).

Memang terasa agak menyengat, seolah-olah laki-laki hanya berurusan dengan kekuatan, kekerasan, kekuasaan, menomorduakan kelembutan, keserasian, estetika.

Postur laki-laki memang diasosiasikan dengan kekuasaan, ketegaran, kekokohan, simetri, sedangkan postur wanita tampil lebih bernuansa kelembutan, keluwesan, kelenturan, asimetri. Laki-laki dilambangkan ibarat serdadu dengan pakaian seragamnya, dan wanita dilambangkan ibarat gadis dengan selendang di bahu kanan dan tas di tangan kirinya.

Gender dan Arsitektur

Bicara tentang seks dan arsitektur tidak terbatas pada para arsitek sebagai pelakunya saja, melainkan juga menyangkut karya-karya arsitektur yang diciptakannya. Apakah ada watak gender dalam arsitektur? Adakah arsitektur ’jantan’ (male) dan arsitektur ’betina’ (female)? Beberapa arsitek kritikus menyatakan bahwa “Male architecture is architecture that expresses heaviness, strength, or power”.

Dari pernyataan tersebut di atas, muncullah berbagai pertanyaan. Di antaranya adalah: ”Apakah candi-candi seperti Borobudur karya Wiswakharman yang tercipta dari bebatuan keras dan gedung-gedung pencakar langit seperti Menara Dubai atau Burj Khalifa karya Shidmore, Owings & Merrill (SOM) itu termasuk kategori arsitektur yang maskulin atau jantan?”

Sekelompok arsitek kritikus yang sama mendefinisikan bahwa ”Female architecture is architecture that seems to express femininity, something womanly, about the shape, size, proportions, color, or texture”.

Nah, muncullah pertanyaan yang menggelitik.

Apakah Singapore Explanade dan Museum Guggenheim di Bilbao Spanyol yang serba plastis dan penuh lekuk-liku itu bisa disebut sebagai arsitektur yang feminine atau betina?

Berikutnya muncul lagi tanda-tanda besar. Apakah gedung Twin Tower yang runtuh di New York dan Petronas Tower di Kuala Lumpur bisa disebut sebagai karya arsitektur gay, homo, atau lesbian?

Pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas memang terasa sedikit absurd. Kendati begitu, cukup banyak arsitek-ilmuwan maupun profesional yang dengan amat bersungguh-sungguh menjelajahi dan mengamati keterkaitan antara arsitektur dan ruang dengan anatomi dan seksualitas manusia. Bermunculanlah aneka pendapat lengkap dengan argumentasi pendukungnya.

Misalnya, bahwa kejantanan tidak selalu harus ditunjukkan dalam bentuk ketinggian atau yang menyerupai penis laki-laki. Museum seni Herbert F. Johnson di Cornell University karya I.M. Pei misalnya, bisa dikategorikan sebagai arsitektur jantan karena komposisi arsitekturnya yang terkesan serba berat, tegas, perkasa. Sebaliknya, citra feminin juga tidak selalu diekspresikan dalam wujud lembut dan lunak.

Sekadar contoh adalah Sydney Opera House karya Jorn Utzon, yang memang dinilai feminin karena bentuk lengkungnya, namun terkesan amat berani, memancarkan ‘bold female energy’.

’Androgynous Architecture

Selain itu ada pula karya-karya arsitektur yang sekaligus memiliki kualitas kejantanan dan kebetinaan. Barangkali teksturnya bersifat jantan tetapi bentuknya betina. Atau warnanya berkualitas kewanitaan yang lembut, tetapi proporsinya berbentuk jantan yang serba kokoh.

Beberapa arsitek kritikus menyebut karya arsitektur yang memiliki karakteristik ganda campuran jantan dan betina itu dengan istilah ’androgynous architecture’. Contohnya adalah gedung Taj Mahal di Aqra, India.

Kiranya perlu dipahami bahwa gender dari arsitek (laki-laki atau wanita) tidak berpengaruh pada gender dari karya arsitekturnya (jantan atau betina)

Dicontohkannya karya-karya Julia Morgan berupa aneka bangunan di kompleks Hearts Castle yang bervariasi. Ada yang termasuk kategori jantan, ada yang betina, dan ada pula yang androgynousatau campuran antara keduanya.

Dalam jurnal Japan Architect paling mutakhir edisi Winter 2010, dikisahkan tentang Sayembara Shinkenchiku Residential Design yang dimenangkan oleh wanita arsitek Christina Lyons bersama Julian King dari Amerika Serikat, sebagai juara pertama dan Yuuki Takayama, wanita arsitek dari Jepang, sebagai pemenang kedua. Pemenang ketiganya baru laki-laki arsitek dari Inggris. Indonesia bersama-sama Malaysia, Singapura dan Vietnam, masing-masing mengikutkan satu peserta, namun sayang belum berhasil.

Wanita-wanita arsitek itu menyuguhkan alternatif yang tak terduga berupa karya arsitektur dilihat dari perspektif yang bergerak (gambar hidup), arsitektur sebagai suatu cerita, dan arsitektur yang transendental dan imajiner, lebih dari sekadar cerminan realitas sehari-hari.

Meminjam kata-kata Jun Aoki sebagai juri: ”Experiencing architecture’s physical reality still allows people to feel another reality – to feel fiction. Works of architecture are not simply objects to be seen; they are not just one of the many elements that make up our ordinary reality; they are not merely manifestations of a given system. Architecture does exist as objects, but the essence of architecture is manifested in our experience of those objects that allow us to encouter realms beyond our ordinary experiences.” (Japan Architects, Winter 2010).

Nah, para wanita arsitek yang memenangkan sayembara itu dengan penuh percaya diri telah berhasil mengguncang profesi arsitek yang didominasi lelaki (a male dominated profession), sekaligus menawarkan alternatif dan gatra atau dimensi baru yang menawan, indah, mengejutkan.

Arsitektur dan Sensualitas

Sesudah membicarakan lelaki arsitek dan wanita-arsitek dengan berbagai karyanya baik yang dinilai jantan, betina, maupun androgynous, mau tidak mau mesti dikemukakan pula tentang sensualitas dalam arsitektur.

Beberapa arsitek kritikus berpendapat bahwa arsitektur memiliki sensualitas bila karya tersebut “pleasing to both the eyes and the fingers… hand-crafted from the earth”.

Dicontohkannya seperti rumah-rumah adobe pueblo yang terbuat dari tanah liat dan dibentuk oleh tangan-tangan manusia, dengan penampilan yang eksotik. Untuk kasus Indonesia barangkali perumahan kampung Ledok Code di Yogyakarta dan Kompleks Citra Niaga di Samarinda termasuk kategori karya arsitektur yang sensual. Tidak heran bila kedua karya tersebut termasuk dalam buku “The Best Architecture in the World” (2000) dari Indonesia.

Bila menyangkut kuil dan candi yang erotik, dari India adalah candi Khajuraho dengan rating X, sedangkan dari Indonesia barangkali candi Sukuh di Sragen yang secara eksplisit menampilkan bentuk organ seks pria.

Neuter Architecture

Di samping karya-karya arsitektur yang merupakan hasil ciptaan manusia yang “poetic in conception, aesthetically inspiring, structurally firm, environmentally sound, and meticulously crafted” sebagaimana yang dirumuskan oleh Roger K. Lewis (Árchitect?”, 1998), tentu banyak pula karya-karya yang tidak menyentuh senar-senar emosi, tidak menggugah jiwa, tidak menarik, anonim, tunggal rupa atau monoton. Atau dengan satu kata: jelek. Bangunan-bangunan seperti itu, yang tidak memiliki ‘sense of masculine or feminine energy’, tidak menggetarkan indera manusia, memperoleh predikat sebagai ‘Neuter Architecture’. Bangunan-bangunan serba polos berupa kotak kaca (glass box buildings) bisa disebut dengan neuter architecture, karena sama sekali tidak menghiraukan kaidah arsitektur sebagai karya seni dan teknologi yang direkat dengan idealisme sosio-kultural dan energi kreatif.

Para Perancang neuter architecture itu lupa bahwa mereka dituntut dan mengemban amanah untuk menciptakan karya “Architecture as archeology of the future” yang autentik, orisinal, bukan sekadar contekan atau jiplakan dari karya-karya lain yang sudah pernah ada. Sebagian besar Masyarakat sebetulnya sudah bosan, bahkan sebal dan muak dengan merebaknya gejala ‘Manhattanization’ atau ‘McDonaldization’ di berbagai kota besar dan kota raya di segenap pelosok tanah air kita, karena menggerus jatidiri atau identitas kota, dan melunturkan harga diri warga kotanya.

Arsitektur Glorekal”

Lepas dari wacana tentang gender atau seks, yang berkaitan dengan dunia arsitektur di tanah air, sesungguhnya yang tak kalah merisaukan adalah pengaruh globalisasi negara-negara Barat (oksidental) yang amat deras ‘menggurita’ mencengkeram negara-negara Timur (oriental).

Para arsitek muda di Republik Rakyat China (RRC) misalnya, dengan galak mengecam bahwa bangunan-bangunan baru hasil karya arsitek-arsitek asing di kota-kota besar di segenap pelosok RRC itu sangat ‘tidak China’. Antara lain karena terlalu banyak menggunakan baja, yang di RRC merupakan bahan langka, tidak memanfaatkan sumberdaya dan kearifan lokal, dan amat mahal biayanya (Christian Dubrau, “New Architecture in China”, 2008).

Sekelompok arsitek Asia yang merasa gerah dan gelisah mengamati kecenderungan homogenisasi arsitektur dan kolonialisme budaya lewat globalisasi itu lantas bergabung dalam suatu gerakan perlawanan budaya (counter-culture movement).

Fumihiko Maki (Jepang), William Lim (Singapura), Sumet Jumsai (Thailand), Charles Correa (India) merupakan figur-figur yang berpengaruh dalam pembentukan Asian Planning and Architectural Collaboration (APAC) pada tahun 1980-an.

Pengaruh APAC cukup menggigit, karena bahkan arsitek-arsitek kelas dunia seperti Paul Rudolph, I.M. Pei, Norman Foster, dan lain-lain lantas berupaya keras menciptakan karya arsitektur yang responsif terhadap tempat, iklim, budaya, dan aspirasi lokal (Hassan-Uddin Khan, “Contemporary Asian Architecture,” 1995).

Kiranya sudah saatnya para arsitek di seluruh pelosok nusantara tercinta menggalang kekuatan menangkal pengaruh negatif globalisasi dengan tekad membara menciptakan arsitektur glorekal. Maksud saya, mengglobal dengan semangat regional berbasis sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal itu mencakup sumberdaya manusia, alam, budaya, teknologi, dan finansial.

Kriteria penilaian “The Best Architecture in the World”, “The Aga Khan Award for Architecture” dan semacamnya yang menilai tinggi pendayagunaan kearifan dan keunikan lokal, transformasi nilai-nilai vernakular, kohesi sosial, peranserta masyarakat, perlu menjadi pumpunan (fokus) perhatian kita semua.

Kita coba kembangkan pula diskurssus yang menyangkut isu-isu hangat seperti perubahan iklim, pemanasan global, pencegahan bencana, kota hijau, arsitektur berkelanjutan, dan semacamnya.

Diperlukan alternatif dan terobosan-terobosan baru dengan berfikir lateral (Edward de Bono), nggiwar (Romo Mangun) atau out of the box (Rob Eastaway), untuk bisa jadi pencipta dan bukan pengikut kecenderungan.

Gayeng Semarang (Suara Merdeka): PAGUYUBAN


Kulanuwun. Begitu saya mendarat di Bandara Internasional Kansai di Jepang, sudah ada beberapa pesan singkat masuk di ponsel saya. Tapi yang paling dapat perhatian saya ada dua. Yang satu dari Prof. Retmono, menanyakan apakah betul minggu ini giliran saya tampil di rubrik Gayeng Semarang. Yang kedua dari Mas Triyanto yang mengingatkan bahwa saya mesti segera kirim naskah Gayeng Semarang. Memang sangat menarik yang namanya paguyuban, kekerabatan, persaudaraan, kemitraan, atau Gemeinschaft.

Tidak seperti polah tingkah para pemimpin kita di puncak kekuasaan yang sampai sekarang masih saja saling tohok-menohol, jatuh menjatuhkan, leceh melecehkan, ancam-mengancam. Dan caranya itu lo, yang amat sangat tidak santun, nenek moyang kita menyebutnya “ora nJawani”.

Kita kan sudah dapat warisan pesan yang selalu saja dikutip orang “Digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Pesan lain: “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti,” “Ana catur mungkur, ana bapang den simpangi”. Kurang lebih arti dari semua itu adalah sakti tanpa senjata; menyerang tanpa gerombolan; menang tanpa merendahkan; kemarahan akan terhapus oleh kesabaran; ada sengketa kita mundur; ada halangan kita hindari. Dan lain lain.

La sekarang ini para mahasiswa saja kok ya ikut-ikutan sampai melempari batu, bambu, kayu pada aparat. Padahal dalam pewayangan, mesti ada dialog dulu. “Siapa namamu? Dari mana asalmu? Apa maumu?”

Sesudah itu baru mulai dengan perkelahiannya. Jadi tidak ujug-ujug lantas main keroyokan.

* * *

Dsari mas Iqbal saya dapat tips, berupa doa-doa yang puitis juga lewat ponsel: “Apabila aku kesepian, hiburlan aku dengan merdu suara dan candamu. Apabila aku sakit, obatilah aku dengan putih kasih sayang dan cintamu. Apabila aku dipanggilkan Tuhan, mandikanlah aku dengan bening air mata dan lirih tangismu. Apabila aku dikuburkan, kuburlah juga aku dalam tulus hati dan jiwamu. Dan supaya aku tidak tersesat di dunia maupun akhirat, ingatkanlah serta selamatkanlah aku dengan kekhusukan zikir dan doa-doamu.”

Wah, bila setiap pemimpin memberi contoh dengan saling doa-mendokana seperti itu, alangkah damai, tenang dan nyamannya hidup ini. Pasti juga akan dicontoh oleh anak-cucu kita, yang dalam pendidikannya pun sudah ditanamkan sikap bahwa kita semua bersaudara. Salah satu pilar pendidikan menurut UNESCO adalah “Learning to live together”. Jadi bukan sekadar learning to know, to do, to be.

Waktu saya bicara dalam Seminar Pendidikan di Pati, di depan ratusan guru-guru SD, SLTP, SLTA, saya bahkan menambahkan satu pilar lagi yaitu “Learning to love each other”, alias belajar saling mencintai. Cinta pada keluarga, saudara, teman, kampus, kampung, bangsa, negara, dan agama.

Mereka yang sudah mapan, mbok yao memikirkan nasib mereka yang masih rawan.

Dalam suatu perjalanan darat dari Semarang ke Purwokerto saya sempat membaca tulisan besar – besar di bagian belakang bak truk: “MANGKAT PUSING, ORA MANGKAT APA MANING”. Berangkat pusing, apalagi kalau tidak berangkat. Sedangkan yang namanya John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat, ketika ditanya kenapa dia senang dari presiden, dengan amat jujur dia menjawab: “Bayarannya amat baik dan bisa jalan kaki dari dari rumah ke kantor.” Kelihatan betul beda nasib rakyat dengan presidennya.

* * *

Sesama penjaga rubrik Gayeng Semarang pun, yang bikin kita semua betah, nyaman, enjoy, adalah karena rasa paguyuban yang amat kental. Kita sering bertukar dan berkirim kabar. Prof. Abu Suud, misalnya, setiap kali mengingatkan untuk qiyamul lail, tahajud. Kemarin baru saja saya terima pesan bahwa di dunia ini banyak ketidakpastian. Bahkan ilmu pasti pun sering tidak pasti. Katanya kalau hasil perkalian lebih besar dari sekadar pertambahan. Tapi kalau satu kali satu kok hasilnya lebih sedikit dari satu tambah satu. Dua kali dua kok cuma sama dengan dua tambah dua. Sembilan tambah satu kok lebih besar ketimbang sembilan kali satu. Beliau menyimpulkan “La wong ilmu pasti saja gak pasti, kemana lagi kita cari kebenaran, kalau tidak lewat agama?”

Weladalah, pemikiran sehebat itu kok tidak ditulis di kolom Gayeng Semarang yang notabene beliau sendiri ikut mengasuh ya? Itulah semangat paguyuban yang sungguh amat mulia bila disebarluaskan. Ibarat pemain depan yang sudah berhadapan langsung dengan kiper di gawang lawan, tidak kok terus menembakkan bola ke gawang (karena pasti tidak masuk), tetapi dengan rela dioper ke kawannya (yang lebih memungkinkan untuk mencetak gol).

Liding dongeng, marilah kita mengelola apa pun yang menjadi bidang tugas kita, dengan semangat paguyuban. Jangan sekali-kali mengelola dengan semangat permusuhan, yang tidak akan menyenangkan segenap pihak.

Sakmanten rumiyin atur kula, kepareng, nuwun.

Buku 'Rahasia Sukses Berkarier Internasional (Rasberi)'

Mohon berkenan ke Gramedia,ada buku baru berjudul "Rahasia Sukses Berkarir Internasional (Rasberi)", karya Aretha Aprilia, dg pengantar Prof Dr Emil Salim, diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Kunjungi situs www.arethaaprilia.com untuk info lebih lanjut. Terima kasih atas perhatiannya.

* * *
Rahasia dan berbagai kiat berkarier internasional dikupas tuntas dalam buku “Rahasia Sukses Berkarier Internasional (Rasberi)” yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

Metode konvensional seperti mencari informasi lowongan kerja di koran dan mengirimkan lamaran sebanyak-banyaknya ke berbagai institusi tanpa strategi terbukti kurang efektif di era kompetitif seperti sekarang ini. Tahukah Anda bahwa berdasarkan fakta dan penelitian:

* Lebih dari 70% pekerjaan diisi oleh kandidat internal (alias ‘orang dalam‘)
* Lebih dari 50% karyawan mendapatkan pekerjaan yang lowongannya tidak pernah diiklankan
* 70% – 80% pekerjaan diperoleh melalui jejaringan (networking), dan hanya 5% dari iklan lowongan dan pameran bursa kerja.

Buku ini memperkenalkan berbagai strategi non-konvensional yang juga membahas mengenai strategi melamar pekerjaan di institusi atau perusahaan internasional, kiat sukses menghadapi wawancara kerja, tips melakukan negosiasi gaji, dan masih banyak lagi.

Siapa yang wajib membaca buku ini?

* Para profesional dari tanah air, baik profesional mid-karir maupun fresh graduates.
* Para pelajar tingkat SMP, SMU, dan universitas yang ingin mempersiapkan pendidikan untuk kariernya di institusi internasional
* Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan dosen yang berniat untuk memperoleh pekerjaan atau proyek pada institusi internasional
* Para guru, dosen wali, konselor pendidikan, yang berniat untuk membimbing murid atau mahasiswa/i mereka untuk berkarier di institusi internasional
* Para karyawan yang ingin mencari alternatif kerja lain untuk meningkatkan karier dan pendapatan
* HRD, manajer, dan pegawai institusi dan perusahaan internasional
* Ibu rumah tangga yang ingin kembali memasuki dunia kerja saat ini yang kian kompetitif
* Para orang tua yang peduli dengan masa depan karier anak-anaknya di era kompetisi global

Buku yang berjudul ‘Rahasia Sukses Berkarier Internasional’ ini sengaja disingkat menjadi ‘RASBERI’. Alasannya, selain agar mudah diingat oleh pembaca, juga karena buah rasberi (raspberry) sendiri merupakan metafora jenis buah yang asing, rasanya bercampur antara manis dan asam. Hal tersebut tepat sekali merepresentasikan fakta bahwa memiliki karier internasional merupakan pengalaman yang asing, terkadang terasa manis, namun tak jarang juga terasa asam, sebab cukup banyak tantangan yang harus dihadapi selama seseorang menjalaninya.

Segera dapatkan buku ini di toko buku terdekat Anda.
Harga: Rp 40,000,-

Kunjungi www.arethaaprilia.com dan dapatkan berbagai informasi yang dapat diunduh secara GRATIS!

Dapatkan pula updates, informasi lowongan dan artikel terbaru mengenai karier di Facebook Page Aretha Aprilia (klik di sini).

Thursday, March 19, 2009

Tugas Profesor adalah Menulis Buku

Kamis, 19 Maret 2009 19:17 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Winarto Herusansono

SEMARANG, KOMPAS.com - Salah satu tugas penting para profesor di perguruan tinggi adalah menulis buku. Kalau tidak menulis buku, ya membuat tulisan untuk dikumpulkan sebagai buku. Sedang tugas profesor lainnya adalah membaca, menjadi pembicara dan meneliti.

"Saya sudah banyak mendorong rekan-rekan dosen untuk menulis. Apalagi profesor ya harus menulis. Kalau empat tugas itu tidak dikerjakan yakni membaca, menjadi pembicara, meneliti dan menulis, ya profesor itu pasti tidur," kata Prof Ir Eko Budihardjo Msc, Kamis (19/3) sore pada pertemuan pra-menghayu bagyo 65 tahun Prof Eko Budihardjo, mantan Rektor Universitas Diponegoro, Semarang.

Eko Budiharjo mengatakan, pada 9 Juni 2009 nanti dirinya akan purna tugas setelah memasuki pengabadian 65 tahun. Bila pensiunan nanti, dirinya akan berstatus Guru Besar Emiritius di Fakultas Teknik Undip Semarang.

Saat ini tinggal menunggu SK Presiden RI mengenai pensiunan saya. Tapi hebatnya, surat keputusan Presiden RI belum turun, Rektor Undip Semarang, Prof DR dr Susilo Wibowo sudah menetapkan perpanjangan tugas saya. Sedihnya perpanjangan itu dikaji ulang tiap tahun, ya sudahlah aturannya begitu, kata Eko Budihardjo yang pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah 2003-2008.

Sebagai penanda purna tugas, Eko Budihardjo mengaku, para koleganya sejumlah profesor di berbagai perguruan tinggi telah sepakat untuk menerbitkan buku. Buku itu berisi kumpulan tulisan para profesor, terutama yang sebidang dengan dirinya yakni arsitektur dan tata kota. Sudah ada penerbit yang bersedia menerbitkannya.

Penerbit malah terus menagih, lha ini yang repot juga. Penerbit mintanya Maret 2009 ini bisa rampung dan buku segera diterbitkan meski peluncuran bersamaan waktunya kegiatan purna tugas nanti, kata Eko Budihjardjo

Kado Purnatugas Prof Eko Budihardjo

Kompas Cetak
Jumat, 20 Maret 2009 09:59 WIB

Semarang, Kompas - Sejumlah agenda disiapkan untuk mengantar purnatugas mantan Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, Prof Eko Budihardjo, yang pada 9 Juni 2009 akan memasuki masa pensiun. Meski pensiun, Eko Budihardjo tetap mengajar di Fakultas Teknik Undip.

"Saya sangat terharu atas perhatian rekan-rekan di lingkungan Undip maupun para profesor di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Begitu mereka tahu saya mau pensiun lalu sambutan untuk memaksa perayaan cukup banyak," kata Eko Budihardjo, Kamis (19/3), pada pertemuan pra-Menghayu Bagyo 65 Tahun Prof Eko Budihardjo di Semarang.

Pertemuan itu dihadiri enam profesor, tiga doktor, dan para kolega. Mereka antara lain Prof Dr Abu Su'ud (Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang), Ketua Panitia Purnatugas Prof Ir Edi Darmawan MEng, Ketua Komunitas Arsitektur Tua Semarang, Ketua Kadin Solichedi, mantan anggota KPU Dr Ari Pradhanawati, Dr Adi Nugroho, Triyono Lukmantoro, seniman Djawahir Muhamad, serta wartawan media cetak dan media elektronik di Semarang.

Menurut Eko Budihardjo, dia menunggu keluarnya surat keputusan Presiden mengenai keputusan pensiunan sebagai dosen. Namun, ternyata Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo sudah lebih dulu menetapkan surat keputusan perpanjangan tugasnya. "Wah ini juga penghargaan, ternyata tenaga saya masih dibutuhkan," kata Eko.

Eko berharap, acara purnatugasnya tidak terlalu kaku dan terlalu serius keilmiahan. Kalau perlu ada seninya seperti pembacaan puisi dan mendatangkan penyanyi balada, Ebiet G Ade.
Agenda lainnya adalah kesediaan sejumlah profesor dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia untuk menyumbangkan tulisan-tulisan. Tulisan para profesor itu akan dijadikan kumpulan tulisan dan dibukukan.

Selain peluncuran buku berisi kumpulan tulisan para profesor, kata Edi Darmawan, panitia juga akan menggelar diskusi nasional bertema "Arsitektur Sastra Matra". Diskusi ini akan menampilkan pembicara Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/20/09593284/Kado.Purnatugas.Prof.Eko.Budihardjo

Tuesday, March 3, 2009

Membangun Bangsa dengan Cinta

Koran SINDO
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/218224/

Oleh: Eko Budihardjo

Tuesday, 03 March 2009
Kita mesti bangga bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain berkat perjuangan para pahlawan, yang hanya dengan bambu runcing tetapi dengan semangat baja, berhasil mengusir penjajah.

Kita merdeka melalui cucuran darah dan bahkan taruhan nyawa. Bukan karena pemberian dan belas kasih. Kita layak berbangga pula, presiden pertama kita seorang insinyur yang juga orator andal,dengan penuh percaya diri berpidato di depan sidang PBB: “We are free”. Belakangan, bahkan ditiru oleh Dr Mahatir Muhammad dengan pernyataannya “Go to hell with IMF.

”Sampai-sampai ada yang menyebutnya sebagai “Little Soekarno.” Kita mesti bangsa sebagai bangsa yang reformis,dipimpin oleh presiden yang beragam. Sesudah Bung Karno yang insinyur, kemudian berturutturut diganti Pak Harto yang militer, Habibie yang profesor, Gus Dur yang ulama, Megawati yang wanita serta SBY yang doktor.

Namun, perlu kita renungkan petuah bijak dari proklamator kita: “Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan,walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa,satunya lagi ke dunia sama ratap sama tangis.” Guna mencegah ratapan dan tangisan rakyat itulah,kita mesti mencanangkan tekad mulia: “Membangun Bangsa dengan Cinta.”

Kekuatan Cinta

Menurut UNESCO, dunia pendidikan mesti dikembangkan berdasarkan empat pilar,yaitu learning to know, to do, to be, dan to live together. Namun, menurut hemat saya, perlu ditambah satu lagi: learning to love each other.Hidup bersama tanpa cinta jelas tidak ada gunanya.Akan muncul fenomena KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga.

Lebih mengerikan lagi bila terjadi pertikaian, pertengkaran, perselingkuhan, dan perceraian. Yang merisaukan adalah manakala mayoritas rakyat Indonesia mendambakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan cinta atau The Power of Love,para elite politik di puncak kekuasaan malah terbius dengan The Love of Poweralias cinta kekuasaan.

Sebagai seorang Rotarian, saya selalu ingat salah satu slogan Rotary Club: “Show the Seed of Love” atau “Taburlah Benih-Benih Cinta“. Cinta pada rakyat, cinta pada lingkungan, cinta pada pekerjaan, cinta pada sesama. Mari kira renungkan puisi mbeling berikut ini: “Dengan tersenyum, wajah akan tambah menawan. Dengan tertawa, badan akan jadi lebih sehat.Dengan berdoa,jiwa akan lebih damai. Dengan cinta dan bercinta, kita sekaligus akan tersenyum, tertawa, dan berdoa: ‘Oh God…’”

Rasa cinta ini yang nampak kian meluntur di Tanah Air kita.Yang terlihat adalah nuansa kebencian, permusuhan, persengketaan mulai dari kalangan atas merembet, menular sampai pada lapisan bawah. Tawuran antarmahasiswa, karyawan, relawan, aparat, kampung, pendukung calon bupati/wali kota/ gubernur menjadi “santapan”seharihari. Padahal, sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, sebagian umat beragama, mestinya merasa malu dan berdosa bila terlibat dalam tawuran yang penuh kekerasan dan merusak itu.

Coba kita resapi dalam-dalam keluhan seorang penyair: “Musa menyuarakan Taurat. Daud menyuarakan Zabur. Sidharta Gautama menyuarakan Tripitaka.Yesus menyuarakan Injil. Muhammad SAW menyuarakan Alquran. Kenapa kita, anak bangsa ini, menyuarakan permusuhan dan bahkan “perang saudara.”

Krisis Keteladanan

Bila diamati karut-marut yang menimpa rakyat republik ini, terlihat jelas bahwa salah satu penyebab utamanya adalah krisis keteladanan dan kepercayaan. Memang, masyarakat kita dituding sebagai low trust society.Kadar saling percaya mempercayainya teramat sangat rendah.

Namun, pemicunya adalah karena para pemimpin kita tidak bisa memberikan contoh keteladanan yang baik. Orang Jawa mengungkapkannya dengan istilah “jarkoni”: bisa ngajar, ora bisa nglakoni. Maksudnya, bisa memberi petuah tetapi dia sendiri tidak melaksanakannya.

Coba,rakyat selalu saja diminta mengetatkan ikat pinggang, tetapi para tokoh di lembaga eksekutif,yudikatif maupun legislatif justru sekarang mulai ketahuan satu demi satu perilaku menyimpang mereka yang kian melonggarkan ikat pinggang. Sampaisampai ada yang mengatakan, bila membaca pernyataan pejabat tinggi di media massa, kita harus mengartikan sebaliknya.

Jadi, manakala seorang pejabat tinggi di republik ini bicara berapi-api di layar televisi bahwa kenaikan BBM akan lebih menyejahterakan rakyat, kita langsung bisa menangkap arti sesungguhnya dari pernyataan itu. Krisis keteladanan di Tanah Air kita tersirat dari puisi berikut, “Pesan seorang bapak kepada anak lelakinya: ‘Jangan tawuran, nanti terluka’.Pesan seorang ibu kepada anak gadisnya, ”Jangan pacaran kelewatan, nanti kecelakaan”.

Pesan seorang dosen kepada mahasiswanya, “Jangan demo di jalanan, nanti kena popor senapan”. Pesan seorang ulama kepada santrinya,“Jangan memelintir ayat-ayat agama,nanti jadi isi neraka”. Ah, pesan-pesan melulu, mana keteladanannya! Bila dikaji lebih mendalam,kenapa tokoh-tokoh elite di puncak kekuasaan tidak mampu dan tidak mau jadi teladan, ada beberapa penyebab.

Pertama, karena dorongan hawa nafsu yang nyaris tidak terkendali. Kedua, karena peluang yang terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang (pemberian izin, proyek fiktif, mark up pembelian barang,dan lain-lain). Ketiga, karena kurangnya pengawasan dan tidak adanya mekanisme insentif dan disinsentif atau reward and punishment.

Gojek Joko Santoso menggambarkan nafsu-nafsu yang diidap para pemimpin kita melalui puisi mbeling yang berjudul Ramalan Cuaca.“Singapura berawan. Malaysia gerimis.Filipina hujan deras. India gempa bumi. Saudi Arabia hawa panas.Alaska hawa dingin.Indonesia hawa nafsu.” Nah, bila kita memang sepakat dan bertekad bulat untuk membangun bangsa dengan cinta, kita optimistis akan dapat segera bangkit kembali dari keterpurukan, lepas dari aneka kesengsaraan yang melanda rakyat.(*)

Prof Eko Budihardjo
Mantan Rektor Undip Semarang, Ketua Pembina Dewan Kesenian Jawa Tengah